Metode Gramatikal Historis – Bag. 1

Selain keterbukaan untuk memanfaatkan berbagai aspek postif dari beragam metode penafsiran modern, metode gramatikal historis merupakan metode “standar” di kalangan Injili dan Reformed. Metode ini digagas atas presuposisi bahwa: a) Alkitab diinspirasikan dengan menggunakan bahasa tertentu [Ibrani, Yunani, dan Aram); dan Alkitab ditulis oleh orang tertentu pada jaman tertentu dengan ikatan-ikatan atau lapisan-lapisan adat istiadat yang mayoritas sangat berbeda dengan kita yang hidup sekarang. Presuposisi a mengharuskan penyelidikan dalam rentang linguistik, sedangkan presuposisi b mengharuskan penyelidikan historis (sejarah). Adagium ini secara tepat mengekspresikan hal ini: “Alkitab ditulis bagi [for] kita tetapi tidak untuk [to] kita”.

Dua aspek penyelidikan di atas akan sangat bermanfaat untuk mencegah atau paling tidak meminimalisasi bahaya eisegesis, yaitu menafsirkan Alkitab berdasarkan sebuah presuposisi asing; presuposisi yang tidak bersesuaian dengan maksud si penulis!

Untuk menghindari ulasan yang terlampau panjang, dalam note ini saya hanya akan mengulas secara ringkas tentang penyelidikan gramatikal terlebih dahulu. Penyelidikan sejarah, akan diulas pada note berikutnya. Selain itu, atas alasan yang sama, saya juga akan meminimalisasi penggunaan contoh untuk setiap aspek ulasan yang tersaji dalam note ini.

Penyelidikan Gramatikal

Karena Alkitab ditulis dalam bahasa tertentu (Ibrani, Aram, dan Yunani), maka penguasaan akan bahasa-bahasa ini menjadi tuntutan yang sangat ditekankan. Ditekankan karena walaupun kita memiliki begitu banyak versi terjemahan, namun aspek-aspek kebahasaan dari suatu bahasa, tidak persis sama dengan bahasa lain. Misalnya, bahasa Indonesia tidak memiliki kata sandang tertentu (definite article), sedangkan bahasa Yunani memiliki kata sandang sesuai dengan kasus kata bendanya (kecuali vokatif) dalam tiga gender (maskulin, feminim, dan neuter). Hal ini menimbulkan kesulitan dalam penerjemahan. Bahasa Inggris memang memiliki kata sandang tertentu, yaitu the, tetapi tetap tidak dapat mengekspresikan secara penuh muatan sematik kata sandang dalam bahasa Yunani yang memiliki beragam kata sandang sesuai kasus dan gender kata sebuah kata benda. Contoh ini memperlihatkan betapa seorang penafsir akan mendapatkan manfaat yang jauh lebih besar bila ia menguasai bahasa asli Alkitab, ketimbang hanya membacanya dari sebuah [bahkan] beberapa terjemahan.

Secara metodologis, penyilidikan gramatikal mencakup beberapa aspek pengamatan, yaitu: pertama, penyelidikan kata (lexiology). Penyelidikan kata mencakup beberapa elemen dasar:

  • Penyelidikan etimologis, yakni meneliti akar kata dari sebuah kata benda atau kata kerja. Penyelidikan ini sebenarnya tidak banyak manfaatnya, bahkan sering kali menimbulkan cacat eksegetis (exegetical fallacy) karena arti sebuah kata dalam konteks tertentu sering kali berbeda jauh dari arti dasar yang terdapat pada akar katanya.
  • Penyelidikan diakronis, yaitu sejarah penggunaan kata yang bersangkutan hingga penggunaannya di dalam PL/PB. Kewaspadaan yang sama seperti yang dikemukakan dalam penyelidikan etimologis juga mesti diberlakukan di sini. Arti sebuah kata ada pada konteks penggunaannya dalam sebuah teks, bukan pada sejarahnya. Meski begitu, penyelidikan ini dapat memberikan informasi sekunder untuk melihat signifikansi arti sebuah kata dalam sejarah.
  • Penyelidikan sinkronik, yaitu menyelidiki maksud penggunaan kata yang bersangkutan dalam sebuah teks. Ini adalah penyelidikan yang sangat disarankan.

Kedua, penyelidikan tata bahasa dan relasi sintaksis. Meskipun setiap kata memiliki artinya sendiri-sendiri, namun maksud penggunaannya bertautan erat dengan kata-kata lain yang membentuk sebuah kalimat. Inilah yang disebut relasi sintaksis, yaitu menyelidiki hubungan antar kata dalam sebuah kalimat atau anak kalimat. Untuk itu, seorang penafsir harus terlebih dahulu mengenal aspek-aspek ketatabahasaan dari setiap kata yang muncul dalam kalimat. Untuk kata benda, sang penafsir mesti memahami: gender, kasus, jumlah, asal kata, dan artinya. Untuk kata kerja, penafsir mesti mengetahui: tense, modus, diatesis, jumlah, asal kata, dan artinya. Unsur-unsur dalam kata sifat, kata ganti orang, dsb., juga tentu tidak boleh terlewatkan. Pengamatan ini biasanya disebut pengamatan morfologis.

Ketiga, penyelidikan genre (gaya sastra). Gaya sastra di sini beragam, mulai dari gaya sastra utama, yakni gaya sastra yang mendominasi sebuah kitab (misalnya: Taurat, narasi, puisi, hikmat, nubuat, apokaliptik, Injil, surat, dan sejarah), hingga gaya sastra yang lebih terperinci lagi berdasarkan tipe kalimat atau paragraf atau perikop tertentu. Misalnya, dalam Kitab Mazmur kita mengenal: Mazmur Hikmat, Mazmur Raja, Mazmur Ratapan, Mazmur Kutukan, dsb. Dalam Kitab-kitab Injil kita mengenal, misalnya: Perumpamaan, Cerita Mukjizat (Miracle Stories), Pidato/Khotbah/Percakapan (Discourses). Genre juga mencakup unsur yang lebih kecil lagi, yang berhubungan dengan penggunaan bahasa atau ungkapan-ungkapan figuratif. Misalnya: Teka-teki, fabel, hiperbola, alegori, metafora, metonimi, cerita contoh (example story), antropomorfisme, antropofatisme, dsb. Semua unsur genre ini sangat penting untuk diketahui karena terdapat aturan-aturan hermeneutis yang membedakan kita memahami sebuah kata/frasa/kalimat/paragraf/perikop/kitab, berdasarkan genrenya. Saya sering mengutip kalimat penting dari Grant R. Osborne: “Meaning is genre dependent”.

Fitur-fitur linguistik di atas jangan sampai diabaikan dalam upaya menafsirkan atau memahami Alkitab. 

Bersambung:)